Ngelmu.co – Tahun 2015 lalu, tepatnya di bulan Desember, Abduhaliq Aziz, memutuskan untuk menuntut ilmu ke Kairo, Mesir. Perjalanan itu ia lakukan, demi melanjutkan pendidikan agamanya di Universitas Al-Azhar.
Namun, orang tuanya yang tinggal di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang (XUAR), Cina, harus menerima ulah dari otoritas setempat.
Sang ibu, Amine Abdulla, dijatuhi hukuman penjara untuk waktu yang lama, sementara ayahnya, Aziz Nasir, menghilang entah ke mana.
Menurut Aziz, kemungkinan, kedua orang tuanya sebagai warga kota Kashgar, menjadi sasaran otoritas, karena ia menimba ilmu agama Islam ke Mesir.
Ayah dan ibu yang kerap mengirim uang ke luar negeri, juga menjadi perkiraan Aziz, mengapa orang tuanya dihukum.
Cerita Aziz ini disampaikan pada Selasa (28/4) lalu, seperti dikutip Ngelmu dari Radio Free Asia (RFA).
Sang ayah yang merupakan pegawai negeri, sopir di People’s Park (perusahaan milik pemerintah) di Kashgar, menghilang sejak tahun 2016.
Sementara dengan ibunya yang merupakan ibu rumah tangga, Aziz, juga mengalami putus kabar pada 2017.
“Setelah pergi, saya melakukan kontak biasa dengan keluarga, komunikasi dengan ibu, bicara dengan ayah sebanyak dua kali. Terakhir kalinya saya bicara dengan mereka, Februari 2016 lalu, [setelah itu ayah saya] menghilang,” tutur Aziz.
Sejak itu, jika Aziz mengatakan, akan menghubungi keluarga, ibunya akan mengatakan jika sang ayah sedang ‘keluar’ rumah.
“Tetapi saya agak curiga dan bertanya-tanya, apakah ibu menyembunyikan sesuatu dari saya,” kata Aziz, menerka ibunya tak ingin ia khawatir.
Sejak itu, ia dan ibunya menjadi semakin jarang berkabar, dari sepekan sekali, sebulan sekali, hingga akhirnya hilang kabar.
“Ibu saya menghilang pada satu titik, sekitar bulan Oktober 2016. Kami sama sekali tidak berkomunikasi,” ujar Aziz.
“Namun, kemudian dia menambahkan saya ke WeChat, dan kami berbicara sekali pada Januari 2017 (sebelum ia menghilang lagi),” sambungnya.
Kejadian berulang pada April 2017, sang ibu, kembali menambahkan dirinya ke WeChat.
“Dia berkata, pihak berwenang sedang siap-siap membawanya pergi ‘pelatihan’. Ibu tidak tahu kapan akan keluar, jadi ia meminta agar saya menghapusnya dari WeChat,” beber Aziz.
“Dia telah menghapus saya dari WeChat-nya. Ibu juga berpesan, agar tak menambahkannya lagi sebagai teman di aplikasi tersebut. Sejak itu, saya tidak berkomunikasi dengan ibu,” imbuhnya.
Baca Juga: Sudah Menginjakkan Kaki di Xinjiang, Ustaz Azzam Sodorkan Fakta ke YM
Dikirim ‘pelatihan’ menjadi istilah yang digunakan oleh otoritas di XUAR, untuk penahanan di salah satu jaringan kamp pengasingan luas di kawasan tersebut.
Di mana sudah lebih dari 1,8 juta etnis Uighur, serta minoritas Muslim lain, dituduh menyembunyikan ‘pandangan agama yang kuat’ dan ‘salah secara politis’.
Sejak ibunya ditahan, Aziz, juga belum berhasil menghubungi keluarga besarnya, begitupun saudara kandungnya di rumah.
“Pada bulan Februari 2020, saya menerima berita dari seseorang, bahwa ibu saya telah dijatuhi hukuman enam tahun,” ungkapnya.
“Tetapi mereka tidak tahu, apakah ibu masih hidup atau sudah meninggal,” lanjut Aziz.
“Anggota keluarga dan tetangga tahu, bahwa ayah saya menghilang, tetapi mereka tidak tahu, ke mana dia dibawa, apakah dia masih hidup, tidak ada kabar apa-apa,” sambungnya.
Sumber tersebut juga mengatakan, jika orang tua Aziz, ditahan karena mengirim anak ke luar negeri untuk belajar tentang Islam.
“Saya kira alasan penahanan orang tua saya adalah karena mereka mengirim saya ke Mesir, untuk mendapatkan pendidikan agama,” ucapnya.
“Fakta bahwa mereka mengirimi saya uang [ke luar negeri] juga alasan yang memungkinkan,” lanjut Aziz.
Mesir memang menjadi satu dari beberapa negara yang masuk daftar hitam otoritas Cina, bagi etnis Uighur, bepergian.
Sebab, Mesir, dianggap sebagai ancaman ekstrimisme agama.
Begitupun yang terjadi dengan seorang etnis Uighur, Enver Tursun, yang memiliki Pusat Perbelanjaan Taksim di kota Ghulja (Yining).
Ia di-adili atas tuduhan ‘mendiskriminasi pendidikan nasional’, setelah mengirim putranya untuk belajar di Turki.
Ketika dikonfirmasi ke kantor hukum kota Doletbagh—yang mengelola desa—seorang kader Uighur dari kantor hukum kota, membenarkan bahwa ayah Aziz, yakni Nasir, menjadi salah satu penduduk yang dipenjara.
“[Ia dijatuhi] delapan tahun hukuman di Maralbeshi (Bachu). Ia berada di kamp pengasingan selama satu atau dua bulan, mungkin tiga bulan, dan kemudian dijatuhi hukuman [penjara].”
Kader itu mengatakan, dirinya juga mendengar bahwa ibu Aziz, dijatuhi hukuman lima tahun.
“Saya mendengar bahwa dia ada di Atush, tetapi saya tidak tahu [persis] di mana.”
Semua berawal sejak Juli 2017. Lebih dari 200 etnis Uighur, yang merupakan mahasiswa agama di Al-Azhar, ditahan di Mesir, setelah ditangkap di restoran, rumah, atau bandara.
Kemudian, puluhan orang di-deportasi kembali ke Xinjiang, di mana kelompok-kelompok hak asasi manusia mengatakan, mereka sedang menghadapi risiko serius.
Penahanan dan penyiksaan sewenang-wenang di depan mata.
Penahanan massal di Xinjiang, serta kebijakan lain yang dianggap melanggar hak-hak Uighur dan Muslim lain, telah menyebabkan meningkatnya seruan oleh masyarakat dunia.
Berbagai pihak meminta pertanggungjawaban Cina, atas ulah otoritas terhadap warga di wilayah tersebut.
Awalnya, Cina terus menyangkal keberadaan kamp pengasingan di XUAR, Cina.
Tetapi akhirnya, mereka mengubah strategi dengan mulai menggambarkan fasilitas sebagai ‘sekolah asrama’, yang menyediakan pelatihan kejuruan untuk etnis Uighur.
Tujuannya, kata pemerintah Cina, untuk mencegah radikalisasi, hingga membantu melindungi negara dari terorisme.
Sayangnya, suara-suara dari pihak lain di luar Tiongkok, melaporkan jika faktanya tidak demikian.
Mereka yang berada di kamp penahanan, kerap menjadi sasaran indoktrinasi politik.
Di mana secara rutin, harus menghadapi perlakuan kasar dari pengawas, hingga menjalani diet buruk, dengan kondisi yang jauh dari kata higienis. Fasilitasnya pun penuh sesak. Sangat tak layak.