Ngelmu.co – “Bisa jadi, Kak, hari-hari ini adalah hari-hari terberat bagi seorang dokter. Ini ujian, apakah kita dokter beneran atau enggak,” kata adik tingkat saya, (Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis) PPDS yang sedang bertugas di gugus terdepan, menghadang lajunya wabah.
Deg… astaghfirullah… percakapan lewat daring tersebut, membuat saya mengheningkan diri.
Terlepas dari masalah abai dan amatirannya pemerintah dalam pengelolaan wabah.
Terlepas dari semakin banyaknya dokter yang gugur dalam medan pertempuran.
Bukan menihilkan juang mereka, tapi hening ini, semata berusaha introspeksi.
Jangan-jangan, wabah ini adalah—juga bermakna—salju yang sedang berusaha mencuci marwah profesi kita.
Ketika profesi ini telah sampai di titik nadir, di mana masyarakat telah menganggap profesi dokter bukan lagi mulia.
Dia hanyalah perangkat untuk mencari pundi harta. Hobinya main mata dengan perusahaan farmasi.
Hobinya jalan-jalan ke luar negeri. Pamer itu pamer ini. Pelayanan dan rasa kemanusiaan, nomor ke sekian.
Kita kemudian disentakkan. Dengan wabah ini, Allah menegur kita.
Kita yang dulu jumawa pamer itu ini, kini bisanya berselimutkan APD, berlapis-lapis bak robot.
Barang apa kini yang mau dipamerkan?
Kita yang dulunya banyak dihormati, merasa populer, kini bahkan masyarakat menjauhi, takut tertular.
Kita yang dulunya plesiran ke sana ke mari, kini dihukum diam di tempat, disuruh mikir, halal-kah perjalanan yang di-biayai farmasi selama ini?
Kita yang dulunya dengan tanpa empati-nya melihat pasien mengerang sesak napas, kini merasakan sendiri, bagaimana rasanya sesak napas itu, ketika baju tebal berlapis, masker menyumbat saluran udara.
Kita yang dulunya abai dengan sakit mereka, tidak simpati dengan yang namanya mati, kini merasakan kekhawatiran yang begitu dalam.
Jangan-jangan saya sudah terinfeksi.
Jangan-jangan sebentar lagi giliran saya mati.
Kita yang dulunya praktek hingga larut malam, lupa waktu, kini malah berupaya menutup tempat-tempat praktek kita. Khawatir yang datang malah ODP dan PDP.
Kini, pundi-pundi uang terasa tak berharga. Kini, bahkan ada yang merasa menyesal memilih dokter sebagai profesinya.
Tapi bukankah sesungguhnya, seperti di awal tadi, wabah ini adalah pembersih bagi kita? Ujian bagi yang beriman!
Maka, nyalakan lagi api profesi kita kawan. Bersihkan borok-borok noda dari profesi kita. Kita ditunggu di garda terdepan.
Tentunya, yang mampu melewati ujian ini adalah dokter yang sebenarnya.
Bukan dokter cetakan kapitalis yang bergerak di kala fulus di depan.
Namun, tak lagi tulus, bahkan kabur, ketika wabah yang menghadang.
Allah bersama kita.
Oleh: Dr Fauzan Muttaqien, Sp.JP