Wanita yang Kematiannya Disambut Para Malaikat

Ngelmu.co – Mungkin, kisah ini sudah sering kita dengar. Namun, Ngelmu ingin sekadar mengingatkan kembali, tentang perjuangan wanita mulia ini, yang semoga bisa mengembalikan ghirah kita, hingga meneladani beliau; wanita ‘berhati baja’.

Nusaibah Binti Ka’ab radhiyallahu anha, namanya tercatat dalam tinta emas penuh kemuliaan. Bahkan, ribuan malaikat pun menyambutnya kematiannya.

Hari itu, Nusaibah sedang berada di dapur. Suaminya, Said sedang beristirahat di bilik tempat tidur. Tiba-tiba, terdengar suara gemuruh bagaikan gunung-gunung batu yang runtuh. Nusaibah menerka, itu pasti tentara musuh. Sebab beberapa hari terakhir, ketegangan memuncak di kawasan Gunung Uhud.

Ia pun bergegas meninggalkan apa yang sedang dilakukannya, dan masuk ke bilik. Kemudian Nusaibah membangunkan suaminya yang sedang tertidur, dengan halus dan lembut.

“Suamiku tersayang,” kata Nusaibah.

“Aku mendengar pekik suara menuju ke Uhud. Mungkin orang-orang kafir telah menyerang,” imbuhnya.

Mendengar hal itu, Said yang masih belum sadar sepenuhnya pun tersentak. Ia menyesal, mengapa bukan dirinya yang mendengar suara itu, tetapi justru istrinya. Maka, dia segera bangun dan mengenakan pakaian perangnya.

Sewaktu Said menyiapkan kuda, Nusaibah menghampiri. Ia menyodorkan sebilah pedang kepada Said.

“Suamiku, bawalah pedang ini. Jangan pulang sebelum menang,” ucapnya.

Said memandang wajah istrinya. Setelah mendengar perkataan Nusaibah, tak pernah ada keraguan pada Said, untuk pergi ke medan perang. Dengan sigap ia menaiki kudanya, dan terdengarlah derap suara langkah kuda menuju ke utara.

Ia langsung terjun ke tengah medan pertempuran yang sedang berkecamuk. Di satu sudut lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Said, dan tersenyum kepadanya. Senyum yang tulus itu pun semakin mengobarkan keberanian Said.

Sementara di rumah, Nusaibah duduk dengan gelisah. Kedua anaknya, Amar yang baru berusia 15 tahun, dan Saad yang dua tahun lebih muda pun memperhatikan ibunya dengan pandangan cemas. Ketika itulah tiba-tiba muncul seorang penunggang kuda yang nampaknya sangat gugup.

“Ibu, salam dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,” ujar si penunggang kuda.

“Suami Ibu, Said, baru saja gugur di medan perang. Beliau syahid,” imbuhnya.

Nusaibah pun tertunduk sebentar, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un,” gumamnya.

“Suamiku telah menang perang. Terima kasih ya, Allah,” ucapnya bersyukur.

Setelah pemberi kabar itu meninggalkan tempat, Nusaibah memanggil Amar. Ia tersenyum kepada sang anak, di tengah tangis yang tertahan.

“Amar, kau lihat Ibu menangis? Ini bukan air mata sedih mendengar Ayahmu telah Syahid. Ibu sedih karena tidak memiliki apa-apa lagi untuk diberikan bagi para pejuang Nabi. Maukah engkau melihat Ibumu bahagia?” tanya Nusaibah.

Amar mengangguk, dan hatinya berdebar-debar.

“Ambil-lah kuda di kandang, dan bawalah tombak. Bertempurlah bersama Rasulullah, hingga kaum kafir terhapus,” katanya pada Amar.

Mata sang putra pun bersinar.

“Terima kasih, Ibu. Inilah yang aku tunggu sejak tadi. Aku ragu, seandainya Ibu tidak memberi peluang kepadaku untuk membela agama Allah,” ujar Amar.

Putra Nusaibah dan Said yang berbadan kurus itu pun langsung menderapkan kudanya, mengikut jejak sang Ayah. Tidak terlihat ketakutan sedikit pun dalam wajahnya. Hingga di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia memperkenalkan diri.

“Ya Rasulullah, aku Amar bin Said. Aku datang untuk menggantikan Ayahku yang telah gugur,” pungkasnya.

Dengan terharu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memeluk Amar.

“Engkau adalah pemuda Islam yang sejati, Amar. Allah memberkatimu,” tutur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hari itu pertempuran berlalu cepat. Pertumpahan darah berlangsung hingga petang. Paginya, seorang utusan pasukan Islam berangkat dari perkemahan di medan tempur, menuju ke rumah Nusaibah.

Setibanya di sana, wanita yang tabah itu sedang termangu menunggu berita, “Ada kabar apakah gerangan?” serunya gemetar ketika sang utusan belum membuka suara, “Apakah anakku gugur?” tanya Nusaibah.

Utusan itu hanya menunduk sedih dan menjawab, “Betul”.

“Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un,” gumam Nusaibah pelan. Ia kembali menangis.

“Kau berduka, ya Ummu Amar?” tanya utusan tersebut.

Nusaibah menggeleng kecil.

“Tidak, aku gembira. Hanya aku sedih, siapa lagi yang akan kuberangkatkan? Saad masih kanak-kanak,” ujarnya.

Namun, mendengar pernyataan Ibunya, Saad yang sedang berada tepat di samping sang Ibu pun berkata, “Ibu, jangan remehkan aku. Jika engkau izinkan, akan aku tunjukkan bahwa Saad adalah putra seorang Ayah yang gagah berani,” pungkasnya.

Nusaibah terperanjat, ia memandang putranya.

“Kau tidak takut, Nak?” tanya Nusaibah pada Saad.

Saad yang sudah meloncat ke atas kudanya pun menggeleng dengan penuh keyakinan. Sebuah senyum terhias di wajahnya. Dan ketika Nusaibah dengan besar hati melambaikan tangannya, Saad sudah hilang dari pandangan, bersama utusan tentara lainnya.

Di arena pertempuran, Saad betul-betul menunjukkan kemampuannya. Pemuda berusia 13 tahun itu telah banyak menghempaskan nyawa orang kafir. Hingga akhirnya tibalah saat itu, yakni ketika sebilah anak panah menancap di dadanya. Saad tersungkur mencium bumi dan menyerukan, “Allahu Akbar!”

Kembali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberangkatkan utusan ke rumah Nusaibah.

Mendengar berita kematian itu, Nusaibah meremang bulu tengkuknya.

“Hai utusan. Kau saksikan sendiri aku sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Hanya masih tersisa diriku yang tua ini, untuk itu izinkanlah aku ikut bersamamu ke medan perang,” ujarnya.

Sang utusan mengerutkan keningnya, “Tapi engkau wanita, ya Ibu”.

Nusaibah yang tersinggung pun mengatakan, “Engkau meremehkan aku karena aku wanita? Apakah wanita tidak ingin pula masuk ke Surga melalui jihad?”.

Nusaibah tidak menunggu jawaban dari utusan tersebut. Ia langsung bergegas menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan mengendarai kuda yang ada.

Setibanya di sana, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengarkan semua perkataan Nusaibah, dan berkata dengan senyum, “Nusaibah yang dimuliakan Allah. Belum masanya wanita mengangkat senjata, untuk sementara engkau kumpulkan saja obat-obatan dan rawatlah tentara yang luka-luka. Pahalanya sama dengan yang bertempur”.

Mendengar penjelasan Nabi yang mulia, Nusaibah langsung menenteng obat-obatan, dan berangkat ke tengah pasukan yang sedang bertempur. Ia merawat mereka yang mengalami luka-luka dengan cermat.

Hingga pada suatu saat, ketika ia sedang menunduk dan memberi minum kepada seorang prajurit muda yang terluka, tiba-tiba rambut prajurit itu terkena percikan darah. Nusaibah pun memandang, ternyata kepala seorang tentara Islam itu tergolek, ia tewas terbabat oleh senjata orang kafir.

Nusaibah marah menyaksikan kekejaman itu, apalagi ketika dilihatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, terjatuh dari kudanya akibat keningnya terserempet anak panah musuh.

Menyaksikan hal itu, ia pun tak lagi dapat menahan diri. Nusaibah bangkit dengan gagah berani. Diambilnya pedang prajurit yang tewas itu, kemudian ia naiki kudanya.

Bagaikan singa betina, ia mengamuk. Banyak musuh yang terbirit-birit menghindar darinya. Puluhan jiwa orang kafir pun tumbang.

Hingga pada suatu waktu, ada seorang kafir yang mengendap dari arah belakang, dan langsung menebas putus lengan kiri Nusaibah. Ia pun terjatuh, terinjak-injak oleh kuda.

Peperangan terus berjalan, medan pertempuran semakin menjauh, sehingga tubuh Nusaibah teronggok sendirian. Namun, tiba-tiba Ibnu Mas’ud menunggang kudanya, mengawasi kalau-kalau ada orang yang bisa ditolong olehnya.

Begitu ia melihat ada tubuh yang bergerak-gerak dengan susah payah, ia segera mendekatinya. Dipercikannya air ke muka tubuh itu. Hingga akhirnya Ibnu Mas’ud mengenali Nusaibah, “Istri Said-kah, engkau?” tanyanya.

Nusaibah samar-samar memperhatikan penolongnya, lalu bertanya, “Bagaimana dengan Rasulullah? Selamatkah baginda?”

“Baginda Rasulullah tidak kurang suatu apa pun,”

“Engkau Ibnu Mas’ud, bukan? Pinjamkan kuda dan senjatamu kepadaku,” ujarnya.

“Engkau masih terluka parah, Nusaibah,” jawab Ibnu Mas’ud.

“Engkau mau menghalangiku untuk membela Rasulullah?”

Terpaksa Ibnu Mas’ud menyerahkan kuda dan senjatanya. Dengan susah payah, Nusaibah menaiki kuda itu, lalu menderapkannya menuju medan pertempuran. Banyak musuh yang ia buat jungkir balik. Namun, karena tangannya sudah buntung, akhirnya tak urung juga lehernya terbabat putus oleh sabetan pedang musuh.

[su_box title=”Baca Juga” style=”glass”]
Anjing yang Membunuh Penghina Rasulullah SAW
[/su_box]

Gugurlah wanita perkasa itu ke atas pasir. Darahnya membasahi tanah yang ia cintai. Tiba-tiba langit berubah mendung, hitam kelabu. Padahal tadinya langit tampak cerah dan terang benderang. Pertempuran terhenti sejenak.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata kepada para sahabatnya, “Kalian lihat langit tiba-tiba menghitam bukan? Itu adalah bayangan para malaikat yang beribu-ribu jumlahnya. Mereka berduyun-duyun menyambut kedatangan arwah Nusaibah, wanita yang perkasa”.

Subhanallah …
Allahu Akbar …
Allahu Akbar …
Allahu Akbar …

Tanpa pejuang sejati seperti dia, mustahil agama Islam bisa sampai dengan damai kepada kita yang hidup di zaman sekarang ini. Lantas, apa yang sudah kita perbuat untuk menegakkan Dienullah Islam?

Semoga, kisah inspiratif ini bisa menggugah jiwa juang kita, agar tidak cengeng melepas anak -anak yang sedang berjuang. Sebab kalau ingin anak menjadi kuat, maka kita pun harus bisa menjadi Ibu yang kuat terlebih dulu.