Ngelmu.co – Terungkap, selama 2019, ada 40 orang perempuan asal Kalimantan dan Jawa yang dipulangkan pemerintah Indonesia dari Tiongkok. Namun, cerita di balik peristiwa itu sungguh memilukan. Pasalnya, sebagian dari mereka dijebak jadi ‘pengantin pesanan’ Cina, oleh sindikat perdagangan orang.
Pengakuan Para Mantan ‘Pengantin Pesanan’ Cina
Pihak yang menjadi ‘mak comblang’ para ‘pengantin pesanan’, diduga kuat meraup keuntungan, karena telah menjadi penghubung antara perempuan Indonesia dengan para pria Cina.
Meskipun sebagian dari perempuan Indonesia yang menjadi korban, mengaku menikah atas kemauan sendiri, tetapi iming-iming kesejahteraan tak bisa diabaikan.
Kemapanan hanya janji kosong belaka. Kenyataannya, mereka disiksa, hingga dilecehkan oleh mertua.
Warga Negara Indonesia (WNI) yang masuk ke dalam perangkap, mengaku rindu keluarga di kampung halaman.
Perasaan itu pula yang menguatkan mereka, hingga berani kabur, meninggalkan suami dan mertua di Cina.
Dilansir BBC Indonesia, melalui jurnalisnya, Abraham Utama, ia berkorespondensi dengan beberapa ‘pengantin pesanan’ asal Indonesia, di mana hingga kini, masih berusaha pulang dari Cina.
Berikut kesaksian para perempuan yang mengaku pernah menjadi ‘pengantin pesanan’.
Dewi, di Kota Cangzhou, Provinsi Hebei—asal Jakarta
Saya, sejak April 2019, sudah tinggal di Cina. Awalnya saya tidak betah. Baru dua bulan terakhir saya bisa betah, karena perilaku suami berubah sejak saya hamil.
Kehamilan ini juga terpaksa, alasannya supaya saya bisa pulang saja.
Saya tinggal di perkampungan, enggak tahu nama jalannya, yang saya ingat, ini dekat Mengcun—melalui aplikasi pesan singkat, Dewi mengirim titik lokasi tempat tinggalnya.
Tapi ternyata, suami saya tetap tidak perbolehkan saya pulang ke Indonesia. Saya harus melahirkan di sini.
Suami bilang, selama hamil saya tidak boleh naik pesawat. Dia juga takut anak saya nanti malah berkewarganegaraan Indonesia.
Banyak alasannya. Saya diminta terus-menerus istirahat di rumah.
Suami saya kerja kotor, sepertinya berhubungan dengan besi. Ayah dan ibunya meladang. Kakak perempuannya kerja di pengadilan, mengurus berkas.
Hana, di Kota Suzhou, Provinsi Jiangsu—asal Kalimantan Barat
Hubungan antara saya, suami, dan keluarga di Cina sebenarnya baik. Kami sempat bertengkar gara-gara saya sempat meminta dipulangkan.
Saya tidak tahu paspor saya ada di mana—menikah dan tinggal di Suzhou sejak Juli 2019—kondisi saya tidak fit.
Mungkin karena faktor cuaca. Saya tidak pernah mau diajak suami untuk bekerja.
Akhirnya saya hanya disuruh mengurus rumah, kadang-kadang juga mencuci baju mertua.
Saya rindu dengan anak kandung dan keluarga saya di Indonesia.
Di sini, saya bagaikan burung. Saya bisa saja kabur, tapi saya bingung harus ke mana. Kantor KBRI jauh.
(Jarak antara pusat Kota Suzhou dan kantor KBRI di Distrik Chaoyang, Beijing, lebih dari 1.100 kilometer, sekitar 12 jam perjalanan darat)
Saya tidak mengalami kekerasan, mungkin karena pernikahan ini ilegal, dan penyiksaan bisa dihukum berat.
Saya tidak tahu harus minta tolong ke siapa untuk pulang ke Indonesia. Saya minta tolong ke aktivis migran, tapi mereka selalu meminta saya untuk bersabar.
Nurlela, ‘Pengantin Pesanan’ Cina asal Kalimantan Barat
Nurlela menikah dan mulai tinggal di Cina awal 2016, tetapi dari pernikahan pertamanya di Indonesia, ia telah memiliki seorang anak.
Setelah sembilan bulan di Cina, ia berhasil kabur dari rumah suaminya, dan mengaku harus pulang, karena anaknya yang saat itu masih balita, sakit keras.
Selama di Cina, Nurlela mengaku tak pernah mendapat kekerasan, ‘kehidupannya pun cukup, meski suaminya hanya tukang bangunan.
“Saya sebenarnya ingin ke sana lagi. Di sana sama saja seperti di Indonesia, perbedaannya cuma bahasa dan makanan.
Baik buruk orang tergantung kita. Di Indonesia juga banyak yang jahat, banyak yang baik.
Apakah menikah dengan orang Cina bakal lebih sejahtera? Enggak juga.
Di kampung halaman saya banyak dibohongi, banyak orang miskin. Di sana tidak semua orang kaya, banyak juga yang miskin.
Tapi saya putuskan tidak ke Cina lagi, kasihan orang tua saya. Di kampung saya juga bagus, apalagi ada kebun sawit dan karet.
Di kampung saya juga tidak sebegitu susah, apalagi kalau ada niat kerja, tidak malas-malasan.
Setelah pulang ke Kalimantan, jujur saya sempat membantu agen mencari perempuan untuk dinikahkan dengan laki-laki Cina. Saya ‘kan dikasih uang bos.
Saya waktu itu belum tahu ini kejahatan. Setelah kakak sepupu saya berangkat, di Cina dia disiksa.
Setelah kejadian itu saya tidak mau bantu agen lagi, saya takut.
Saya dulu pernah bilang ke dia, kalau mau ke Cina, harus siap segala risiko.
Harus atas keinginan sendiri. Biarpun orang kasih uang untuk menikah, kalau kita tidak mau, bagaimana mereka bisa memaksa?
Saya dilaporkan kakak sepupu saya ke polisi. Padahal saya bilang, kalau dia mau nikah ke sana, apa pun risikonya, itu risiko dia.
Enak tidak enak, dia harus tahan. Saya sudah ingatkan dia. Jangan salahkan saya”.
Tanggapan Direktur Perlindungan WNI di Kemenlu
Menanggapi ini, Kementerian Luar Negeri Indonesia menyebut, perlindungan bagi para ‘pengantin pesanan’ ini rumit, karena bersinggungan dengan institusi privat, yakni rumah tangga.
Direktur Perlindungan WNI di Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha, menyebut para perempuan Indonesia, harus selektif dan cerdas menerima tawaran menikah dengan laki-laki asal Cina, terutama yang melalui ‘mak comblang’ atau agen.
Baca Juga: Narasi TV Bongkar Kebohongan Cina ke Rombongan Indonesia soal Kamp Uighur
Sementara Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI)—salah satu kelompok yang membantu kepulangan ‘pengantin pesanan’ dari Cina—mengaku kerap menggunakan kocek pribadi, untuk menebus tiket pesawat para korban.
Hal ini disampaikan oleh Juliana, salah satu aktivis lembaga nonprofit tersebut.
Pihaknya juga kerap bekerja secara diam-diam, saat memulangkan para WNI yang terjebak ‘pengantin pesanan’.
Sedangkan sejumlah WNI yang menetap di Cina, baik mahasiswa atau pekerja profesional, lanjut Juliana, berperan sangat penting dalam proses pemulangan.
“Kami bertekad terus membantu para korban, bersama teman-teman, meluangkan waktu kami,” tuturnya.
Pada pekan kedua Januari 2020, pegiat SBMI lainnya, Iswandi, menuturkan jika terdapat satu ‘pengantin pesanan’ lagi, yang berhasil dipulangkan dari Cina.
Dengan bantuan SBMI, perjuangan perempuan berinisial MJ yang berasal dari Kalimantan Barat itu, berbuah manis.
“Dia baru saja melalui perjalanan yang sangat panjang,” pungkas Iswandi.